Ket Foto : Rachmad Oky S

KONTRADIKSI LEGAL DRAFTING PADA OMNIBUS LAW

Sudah bisa ditebak bahwa penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja akan semakin masif, apalagi DPR RI mengesahkan RUU tersebut ditengah masyarakat yang kebingungan menghadapi wabah Covid-19, namun sejatinya DPR memegang teguh “Anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Pertarungan dan pertaruhan UU yang disebut Omnibus Law itu akan terus bergulir antara Pemerintah, DPR versus Rakyat.

Prespektif materil UU Cipta Kerja sudah barang tentu memicu banyak perdebatan bagi masing-masing lapisan masyarakat yang merasa dirugikan kepentingannya dan sisi lainnya bahwa Omnibus Law mempunyai semangat mempersatukan berbagai macam “beleid” yang telah terbentuk sebelumnya  menjadi satu UU.

Keserasian, keterpaduan dan kepraktisan menjadi salah satu nilai lebih Omnibus Law karena memotong jarak tempuh “legal drafting” yang selama ini proses pembentukan UU begitu banyak pintu “formal” yang harus ditempuh. Dengan Omnibus Law yang dapat kita katakan “legislasi jalan tol” dimana perubahan dari berbagai jenis UU dapat diintegrasikan menjadi satu UU.

Aspek formal pembentukan dalam UU Cipta Kerja tidak ada yang berubah karena dimulai dari inisiatif eksekutif yang dimasukkan kedalam Prolegnas hingga nantinya akan disetujui Legislatif (DPR), artinya mekanisme perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga ke pengundangan tetap memakai payung UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Namun pembentukan Omnibus Law (Cipta Kerja) memiliki kultur legislasi yang berbeda dari semangat UU No.12/2011, bahwa benar adanya Omnibus Law merupakan kelaziman yang digunakan pada sistem Anglo-Saxon yang cenderung bertumpu pada yurisprudensi namun di Indonesia sendiri dimana pengaruh Civil Law masih sangat diperhitungkan hingga konsekuensi pembentuk UU tidak hanya memikirkan bentuk materil UU-nya saja namun aspek formil hingga teknis “legal drafting” juga tidak kalah pentingnya karena kesalahan formil atau kesalahan legal drarting dari pembentukan UU dapat menurunkan derajat legalitas dan legitimasi UU tersebut.

Omnibus Law Cipta Kerja yang kita rasakan saat ini sangat berseberangan dengan kultur legislasi yang dianut Indonesia, Dalam praktik legislasi Indonesia selama ini sering kita jumpai memecahkan dari satu UU menjadi banyak UU namun konsep Omnibus Law justru sebaliknya mencabut dan merubah dari banyak UU menjadi satu kesatuan UU.

Dari prespektif legal drafting ada beberapa persoalan yang tertinggal, misalnya bagaimana kedudukan judul UU yang telah dirubah melalui mekanisme Omnibus Law? mengapa perubahan melalui Omnibus tidak diikuti dengan perubahan judul dari UU induknya? karena selama ini proses perubahan pasal didalam UU diikuti dengan perubahan judul UU tersebut dengan menambah kata “Perubahan…, Perubahan kedua…” dengan tetap mempertahankan judul utama UU tersebut. mekanisme ini juga didasari yang termuat didalam lampiran UU No.12/2011.

Namun lain halnya metode Omnibus Law yang mana  pasal yang sudah ditarik untuk dirubah namun tidak diikuti dengan perubahan judul UU tersebut. Misalnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang beberapa pasal ditarik dan dilakukan perubahaan menjadi UU Cipta Kerja namun tidak diikuti dengan berubahnya judul UU No.13/2003 tersebut dengan menambahkan kata “perubahan”  diawal kalimat judul UU tersebut. bukankah hal yang semacam ini melangkahi UU No.12/2011?

Lebih rinci lagi dimana setiap pasal yang dilakukan perubahan dengan menempatkan kata “…diubah…” semestinya tidak menyebabkan pasal tersebut beralih ke bentuk UU yang lain, misalnya  jika pasal 1 angka 32 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dilakukan perubahan maka pasal 1 angka 32 tersebut tetaplah terintegrasi didalam UU Penataan Ruang tersebut dan tidak dapat beralih kedalam UU Cipta Kerja. Namun itulah kultur baru dalam legislasi Omnibus Law yang tidak dikenal dalam UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Beda halnya sebuah pasal didalam UU dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berlaku atau diberi pemaknaan lain tentu tidak serta merta UU yang diuji tersebut dapat berubah judulnya namun oleh UU No.12/2011 ada kewajiban bagi DPR bersama Presiden untuk merubah UU tersebut yang telah diuji oleh MK, karena kedua lembaga itulah yang melekat kewajiban serta kewenangannya berkaitan dengan hal-hal teknis (legal drafting) setingkat UU.

Terlebih lagi dapat kita lihat, jika ada pasal dalam beberapa UU yang diubah dan diintegrasikan kedalam UU Cipta Kerja lalu bagaimana status pasal tersebut? apakah masih bagian dari UU asalnya atau  bagian dari UU Cipta Kerja? Ini sangat penting dijelaskan mengingat pasal-pasal yang ditarik kedalam UU Cipta Kerja berpotensi diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), seandainya MK mengabulkan permohonan dan  memberi makna lain dalam pasal UU Cipta Kerja tersebut maka berpotensi pula pasal didalam UU asalnya terdampak sistematis akibat penafsiran Hakim MK. Ini akan menjadi perdebatan akademik akibat metode Omnibus Law yang diterapkan oleh Presiden bersama DPR RI.

Konsep Omnibus Law dalam tatanan ide sebenarnya sah-sah saja diakomodasi dan diserap dalam sistem legislasi diIndonesia namun perlu juga diingat bahwa dalam proses legislasi tersebut pembentuk UU harus juga patuh terhadap UU No.12/2011, jangan sampai penerapan gagasan baru dalam metode legislasi bertentangan dengan hukum positif yang sudah berlaka dahulu ketimbang gagasan Omnibus Law.

 

Penulis : Rachmad Oky (Dosen Hukum Tata Negara FH Unilak)